PENGERTIAN PERBUATAN
Perbuatan
ternyta yang dimaksudkan bukan hanya yang terbentuk positif, artinya melakukan
sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan terbentuk negatif ,artinya
tidak terbuat sesuatu yang diharuskan.
Mengandung sifat
aktif , yaitu tiap gerak otot yang dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan
untuk menimbulkan akibat.
DELIK DOLUS DAN DELIK CULPA
a. Delik
dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata
yang tegas . .dengan sengaja , tetapi mungkin juga dengan kata-kata yang lain
yang senada , seperti . . diketahuinya ,sebagainya.
b. Delik
Culpa didalam rumusannya memuat unsur kealpaan dengan kata . . karena
kealpaannya ,mislanya pada pasal 359,360,195. Di dalam beberapa terjemahan
kadang-kadang dipakai istilah . . . karena kesalahanya.
DELIK COMMISSIONIS DAN DELIK
OMISSIONIS
a. Delik
commissions barangkali tidak teralalu sulit dipahami,misalnya berbuat mengambil
, menganiaya, menembak, mengancam,dll
b. Delik
omissionis dapat kita jumpai pada pasal 522 (tidak datang mengahadap
kepengadilan sebagai saksi) , pasal 164 (tidak melaporkan adanya pemufakatan
jahat).
JENIS DELIK LAIN
a. Delik
berturut-turut (voortgezet delict) : tindakan pidana yang dilakukan
berturut-turut .
b. Delik
yang berlangsung terus menerus
c. Delik
berkualifikasi (gequalificeerd) : tindakan pidana dengan pemberatan.
d. Delik
dengan privilage (gepriviligeerd delict) ,yaitu delik dengan peringatan.
e. Delik
politik , yaitu tindakan pidana yang berkaitan dengan negara sebagai
keseluruhan , seperti keselamatan negara.
f.
Delik propria yaitu , tindakan pidana yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai kualitas tertentu, seperti
hakim,ibu,pegawai negri,ayah,majikan. Disebut didalam pasal KUHP.
SIFAT MELAWAN HUKUM
Tanpa unsur ini
, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Selain itu , sifat dapat
dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik , yaitu dalam rumusan delik
culpa.
Hal ini
dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada pasal 1 (1) KUHP. Dalam bahasa
belanda melawan hukum itu adalah wederrechtelijk. ( weder = bertentangan dengan
,melawan : recht = hukum).
Ada ketentuan didalam hukum acara :
1. Tindak
pidana yang dituduhkan atau didakwahkan itu harus dibuktikan
2. Tindak
pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat
didalam rumusannya;
Dikatakan bahwa jika
semua unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat dalam rumusan delik,maka
unsur itu juga harus di buktikan , sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka
tidak perlu dibuktikan.
PAHAM –PAHAM SIFAT MELAWAN HUKUM
Berdasarkan paham-paham
sifat melawan hukum , doktrin membedadakan perbuatan melawan hukum atas :
1. Perbuatan
melawan hukum hukan formil , yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila
perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi sandaranya adalah
hukum tertulis.
2. Perbuatan
melawan hukum materiil , terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum
walaupun belum diatur dalam undang-undang. Sandaranya adalah asa umum yang
terdapat di lapangan hukum.
Kaidah
hukum ditarik dari putusan adalah sebagai berikut : suatu tindakan dapat hilang
sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam
perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau
asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum,misalnya tiga faktor :
1.
Negara tidak dirugikan ;
2.
Kepentingan umum dilayani ; dan
3.
Terdakwa tidak mendapat untuk menuntut.
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT
KUHP
Secara
pembuat konsep KUHP baru 1998 menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan
hukum materiial yang terdapat dalam pasal 17 ;
Perbuatan yang dituduhkan haruslah
merupakan perbuatana yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu
peraturan perundang-undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan
hukum.
Penegasan ini juga dilanjutkan dala
pasal 18 ,yaitu :
Setiap tindak pidana selalu
bertentanggan dengan pengaturan perundang-undangan atau bertentangan dengan
hukum , kecuali terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf .
TENTANG KESALAHAN / SCHULD
Sifat melawan
hukum , unsur kekalahan yang dalam bahasa benlanda “ schuld”.oleh karena itu kesalahan merupakan unsur yang bersifat
subjektif dari tindak pidana, maka kesalahan juga memiliki dua segi , yaitu
segi psikologis dan nesi yuridis.
Dari segi psikologis
kelasahan harus dicari didalam batin pelaku, yaitu adanyan hubungan batin
dengan perbuatan yang dilakukan,sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
PENGRTIAN KESALAHAN
Metzger:
Keslahan adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap
pelaku hukum pidana.
Simons
:
Terdapatnya
keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan , yang
sedemikian rupa hingga oranga itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.
Ini dapat disimpulkam adanya dua hal disamping melakukan tindak pidana :
1. Keadaan
psikis tertentu;
2. Hubungan
tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakuka hingga
menimbulkan celaan.
VAN
HAMEL :
Kesalahan
dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis , berhubungan antara keadaan
jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan
adalah pertanggung jawaban dalam hukum.
UNSUR –UNSUR KESALAHAN
Dapat disimpulakn bahwa kesalahan
memiliki beberapa unsur :
1. Adanya
kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam
keadaan sehat dan normal;
2. Adanya
hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang disengaja
(dolus) maupun karena kealpaa(culpa).
3. Tidak
adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.
Seperti kita
ketahui bahwa pasal 10 KUHP membuat jenis-jenis pidana , yaitu pidana pokok ,
yaitu :
-
Pidana mati
-
Pidana penjara
-
Pidana kurungan
-
Pidana denda
-
Pidana tutupan (berdasarkan UU No. 20 Tahun
1945) dan Pidana Tambahan
-
Pencabutan hak-hak tertentu
-
Perampasan barang-barang tertentu
-
Pengumumuman putusan hakim
KESENGAJAAN
Dengan
kesengajaan adalah “willens en watens”
yang artinya adalah “menghendaki dan
menginsyafi atau mengetahui”.
Unsur
kesengajaan dan kealpaan ini hanya berlaku untuk kejahatan dan tidak untuk
pelanggaran . kehendak itu dapat ditunjukan kepada :
1. Perbuatan
yang dilarang
2. Akibatnya
yang dilarang
3. Keadaan
yang merupakan unsur tindak pidana.
RUMUSAN KESENGAJAAN
Dalam bahasa belanda istilah
kesengajaan atau “opzet” . Tidak
semua dengan tegas dipakai “opzettelijk” ,
tetapi terdaoat berbagai cara merumuskan , antara lain :
·
Opzettelijk = dengan sengaja
·
Wetende dat = sedangkan ia mengetahui
·
Waarvan hij weet = yang diketahuinya
·
Van wie hij weet = yang diketahuinya
·
Kennis dragende van = yang diketahuinya
·
Met het oogmerk = dengan maksud
·
Waarvan hij bekend is = yang diketahuinya
·
Waarvan hij kent = yang diketahuinya
·
Tegen beter weten in = bertentangan dengan yang
diketahui
·
Met het kennelijk doel = dengan tujuan yang
diketahui
MACAM-MACAM DOLUS / KESENGAJAAN
Ilmu hukum mengenal bebrapa jenis
kesengajaan , yaitu :
1. Dolus premeditasi : dolus yang
direncanakan, sehingga dirumuskan “dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte raad)” perlu ada waktu
untuk memikirkan dengan tenang ; pembuktiannya disimpulkan dari keadaan yang
objektif.
2. Delus determinatus dan delus inderminatus :
yang pertama adalah kesengajaan dengan tujuan yang pasti, misalnya menghendaki
matinya orang tertentu, sedang yang kedua kesengajaan yang tanpa tujuan
tertentu atau tujuan acak (random).
Misalnya menembakkan senjata kearah sekelempok orang , memasukkan racun kedalam
reservoir air minum.
3. Dolus alternativus : kesenjangaan
menghendaki sesuatu tertentu atau yang lainnya (alternatifnya) juga akibat yang lain.
4. Dolus indirectus : kesejangaan melakukan
perbuatan yang menimbulkan akibat yang tidak diketahui oleh pelakunya; misalnya
didalam perkelahian seseorang memukul lawannya tanpa maksud untuk membunuh,tetapi
kebetulan ada mobil lewat dan orang itu dilindasnya.
5. Dolus directus : kesejangaan yang
ditunjukkan bukan hanya kepada perbuatannya saja, melainkan juga pada
akibatnya.
6. Dolus generalis : kesenjangan dimana
pelaku menghendaki akibat tertentu, dan untuk itu ia telah melakukan beberapa
tindakan misalnya, untuk melakukan pembunuhan. Mula-mula lawannya
dicekik,kemudian dilemparkan ke sungai, karena mengira lawannya telah mati.
CULPA ATAU KEALPAAN
Bentuk kesalahan kedua adalah kealpaan. Keterangan resmi pembentuk KUHP
mengenai persoalan mengapa culpa juga
diancam dengan pidana,walaupun lebih ringan adalah bahwa berbeda dengan
kesenjangan atau dolus yang sifatnya “ menentang laranagan justru dengan
melakukan perbuatan yang dilarang”.Kealpaan si pelaku “ tidak begitu
mengindahkan adanya larangan”.
Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa :
v Tidak
adanya kehati-hatian (het gemis van
voorzichtigheid)
v Kurangnya
perhatian terhadap akibat yang mungkin (het
gemis van de voorzienbaarheid van het gevolog)
Van Hamel menyebut
pula dua hal :
v Tidak
adanya penduga-duga yang diperlukan (het
gemis van de nodige voorzienigheid)
v Tidak
adanya kehati-hatian yang diperlukan (het
gemis van nodige voorzichtigheid)
JENIS
–JENIS HUKUMAN
Menurut pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman yang dapat
dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana :
1. Pidana
pokok :
o
Pidana mati
o
Pidana penjara
o
Kurungan
o
Denda
2. Pidana
tambahan :
o
Pencabutan hak-hak tertentu
o
Perampasan barang-barang tertentu
o
Pengumuman putusan hakim
PIDANA MATI
Penentangan yang
paling keras pada pidana mati adalah C.Beccaria , ia menghendaki supaya didalam
penerapan pidana lebih memerhatikan perikemanusiaan. Belia meragukan apakah
negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana mati , keraguannya ini didasarkan
pada ajaran “kontrak sosial”.
Beberapa alasan
yang menentang hukuman mati :
v
Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan
,maka tidak ada jalan lagi untuk memperbaiki apabila ternyta didalam
keputusannya hukum tersebut mengandung kekeliruan.
v
Pidana mati itu bertentangan dengan
perikemanusiaan
v
Dengan menjatuhkan pidana mati akan tertutup usaha untuk memperbaiki
terpidana.
v
Apabila pidana mati itu dipandang sebagai usaha
untuk menakut-nakuti calon penjahat , maka pandangan tersebut adalah keliru
karena pidana mati biasanya dilakukan tidak didepan umum.
v
Penjatuhan pidana mati biasanya mengandung belas
kasihan masyarakat yang dengan demikian mengundang protes-protes
pelaksanaannya.
v
Pada umumnya kepala negara lebih cenderung untuk
mengubah pidana mati dengan pidana terbatas amupun pidana seumur hidup.
Alasan
mempertahankan adanya hukuman mati :
1.
Dipandang dari sudut yuridis dengan
menghilangkan pidana mati , maka hilanglah alat yang penting untuk penerapan
yang lebih baik dari hukuman pidana
2.
Mengenai kekeliruan hakim ,itu memang dapat
terjadi bagaimanapun baiknya undang-undangan itu dirumuskan . kekeliruan itu
dapat dibatasi dengan pertahapan dalam upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya.
3.
Mengenai perbaikan dari terpidana , sudah
barang tentu dimaksudkan supaya yang bersangkutan kembali ke masyarakat dengan
baik apakah jika dipidana seumur hidup yang dijatuhkan itu kembali lagi dalam
kehidupan masyarakat.
PIDANA PENJARA
1.
Pensylvanian system : terpidana dimasukkan
kedalam sel-sel sendiri , ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun
sesama narapidana , ia tidak boleh bekerja diluar sel. Maka disebut juga
cellulaire system.
2.
Auburn system : pada waktu malam ia
dimasukkan dalam sel secara sendiri-sendiri , pada waktu siangnya diwajibkan
bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara diantara
mereka , bisa disebut dengan silent
system.
3.
Progressive system : cara pelaksanaan pidana
menurut sistem ini adalah bertahap , biasa disebbut dengan English/ Ire system.
PIDANA KURUNGAN DAN KURUNGAN
PENGGANTI
Ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :
*
Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole.
Yang artinya mereka mempunyai hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan
alat tidur sendiri atas biaya sendiri / pasal 23 KUHP.
*
Para terpidana mengerjakan pekerjaan yang
diwajibkan , akan tetapi lebih ringan dibandingkan terpidana penjara/ pasal 19
KUHP.
*
Meskipun ancaman pidana kurungan adalah satu (1)
tahun. Maksimum ini boleh sampai 1 tahun 4 bulan dalam hal terjadi pemberatan
pidana , karena perbarengan , atau karena ketentuan pasal 52 atau 52 a (Pasal
18 KUHP).
*
Apabila terpidana penjara dan terpidana kurungan
menjalani pidana masing-masing disitu tempat permasyarakatan, maka terpidana
kurungan harus terpisah tempatnya . (pasal 28 KUHP).
*
Pidana kurungan biasanya dilaksanakan didalam
daerahnya terpidananya sendiri/biasanya
tidak luar daerah yang bersangkutan.
PIDANA DENDA
Adalah hukuman
berupa kewajiban seseorang untuk mengambalikan keseimbangan hukum atau menebus
dosanya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda adalah
Rp 0,25 (dua puluh lima sen) x 15 ,meskipun tidak ditentukan secara umum
melainkan dalam pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan dalam buku I dan buku II KUHP.
ALASAN PEMBENAR ATAU
RECHTSVAARDIGINGSGROND
Alasan
pembenar ini kita jumpai :
1. Perbuatan
yang merupakan pembelaan darurat (Pasal 49 ayat 1 KUHP).
2. Perbuatan
untuk melaksanakan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP).
3. Perbuatan
melaksanakan perintah jabatan dari penguasa yang ssah (pasal 51 ayat 1 KUHP).
ALASAN PEMAAF ATAU
SCHULDUITSLUITINGSGROND
Alasan
ini dapat kita jumpai :
1.
Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar)
2. Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas (noodweerexcess).
3. Daya
paksa (overmacht).
PEMBELAAN DARURAT (NOODWER)
Pasal
49 KUHP adalah berbunyi sebagai berikut :
(1) Barang
siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau
ancaman , serangan ketika itu yang melawan hukum , terhadap diri sendiri maupun
orang lain terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri mau pun orang
lain,tidak dipidana.
(2) Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa
yang hebat karena serangan itu tidak dipidana.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita
ketahui,bahwa syarat pokok dari noodweer adalah dua buah ,yaitu :
1. Harus
ada serangan.
2. Terhadap
seranagn ini perlu dilakukan pembelaan diri.
Dengan dua syarat pokok tersebut , juga
harus disebut syarat yang penting , yaitu :
v Harus
ada serangan
Tidak terhadap
setiap serangan dapat dilakukan pembelaan diri, akan tetapi hnaya terhadap
serangan yang memnuhi syarat-syarat :
ü
Seketika atau tiba-tiba
ü
Yang langsung mengancam
ü
Melawan hukum
ü
Sengaja ditunjukan pada badan , perikesopanan,
dan harus benda
v Akan
tetapi ketentuan , bahwa serangan itu harus ada pembelaan diri , akan tetapi
pembelaan diri itu harus memenuhi syarat :
ü
Pembelian harus ada perlu diadakan
ü
Pembelaan harus mengenai kepentingan-kepentingan
yang disebutkan dalam undang-undang , yaitu serangan terhadapa
badan,perikesopanan , harta bedan kepunyaan sendiri atau orang lain.
Percobaan dalam
bahasa belanda “poging”, menurut
doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai,tetapi belum selesai atau
belum sempurna. Sudah barang tertentu walaupun KUHP telah merumuskan berbagai
jenis kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing , hukum pidana
tidak mengambil resiko agar kejatan terjadi sepenuhnya, atau akibatnya KUHP
juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan , agar dapat dicegah
terjadinya korban. Pasal 54 KUHP yang berbunyi : percobaan untuk melakukan
pelanggran tidak dipidana.
UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Pasal 53 mengandung tiga unsur :
1. Adanya
niat
2. Adanya
permulaan pelaksanaan
3. Tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata karena kehendak sendiri
·
NIAT
Teks bahasa
belanda niat “voornemen” yang menurut
doktrin adalah kehendak untuk melakukan kejahatan, atau lebih tepatnya “opzet” atau kesengajaan. Pasal 53 ayat 1
KUHP dalam arti luas yang terdiri dari :
a. Opzet
sebagai tujuan
b. Opzet
sebagai kesadaran akan tujuan
c. Opzet
sebagai kesadaran akan kemungkinan.
·
PERMULAAN
PELAKSANAAN (BEGIN VAN UITVOERING)
Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya perbuatan
terntu dan ini mengarah kepada perbuatan yang disebutkan sebagai delik.
Menafsirkan dengan tepat pengertian permulaan pelaksanaan
a. Pertama
permulaan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan atau voorbereidingshandeling.
b. Kedua
apakah permulaan pelaksanaan itu “ permulaan pelaksanaan dari kehendak “
ataulah “ permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
DELIK PUTATIF DAN MANGEL AM
TATBESTAND
1.
Delik
putatif merupakan kesalahanpahaman
dari seseorang yang mengira bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan
terlarang,tetapi ternyata tidaka diatur didalam perundang-undangan pidana.
Disini tidak dapat dipidananya orang tersebut karena memang tidak ada ketentuan
pidana yang melarangnya.
2. Mangel
am tatbestand , kekurangan unsur jadi kekurangan unsur tindak pidana yang
dilakukan , juga karena ada kesalahpahaman , bukan karena tidak adanya
undang-undang , karena dalam keadaan tertentu ada salah satu unsurnya (yang
disangka ada oleh pelaku) yang tidak terpenuhi.
TEORI
POGING
1.
Teori
poging subjektif , perbuatan pelaksanaan dan oleh karena itu telah dapat
dipidana, apabila dalam diri pelaku telah menunjukkan sikap maupun tabiat yang
menunjukkan kehendak yang kuat untuk melakukan tindak pidana.
2.
Teori
poging objektif , suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan
apabila perbuatan tersebut telah membahayakan kepentingan hukum.
Timbul persoalan lain KUHP menganut teori
poging subjektif dan teori poging objektif
1. Kalau
dapat diperhatikan pasal 53 KUHP adanya kehendak , maka KUHP juga menganut
teori poging objektif
2. Bahwa
poging adalah kejahatan yang belum selesai dan oleh karena itu ancamannya
dikurangi 1/3 dari pidana pokok.
Didalam tindak
pidana khusus misalnya 104 dan 110 KUHP,walaupun pada langkah persiapan
perbuatan tersebut sudah dapat dipidana , akan tetapi kejahatan umum KUHP
menganut teori objektif.
POGING
YANG TIDAK MUNGKIN (ONDEUGDELIJK POGING)
“apabila seseorang telah melakukan perbuatan
yang dikehendaki untuk menyelesaikan kejahatan , akan tetapi kejahatan itu
tidak dapat terselesaikan , ketidakselesainnya untuk melakukan kejahatan
tersebut bukan disebabkan karena
dihalang-halangi”
Ketidak
mungkinan itu dapat dibagi menurut
sifatnya yaitu :
§
Mutlak tidak mampu
§
Relatif tidak mampu
Ketidak
mungkinan penyebab dari tidak
terselesainya suatu kejahatan yaitu :
·
Alatnya tidak mampu secara mutlak
·
Alatnya tidak mampu secara relatif
·
Sasarannya tidak mungkin secara mutlak
·
Sasarannya tidak mungkin secara relati
CONTOH-CONTOH DELIK FORMAL DAN
MATERIIL
Delik formal :
1.
Pasal 362 KUHP :
yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah perbuatannya
mengambil barang milik orang lain.
2.
Pasal 242 KUHP : yang dilarang memberikan
keterangan palsu dibawah sumpah.
Delik
materiil :
1. Pasal
338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini
adalah menyebabkan matinya orang lain.
2. Pasal
351 KUHP : yang dilarang dalam delik ini
adalah menimbulkan luka ata sakit orang lain
3. Pasal
187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini
adalah timbulnya kebakaran , peledak , banjir sedangkan perbuatanya menimbulkan
akibat tersebut tidak menjadi soal.
PERBARENGAN
TINDAK PIDANA (CONCURSUS-SAMENLOOP VAN STRAFBAARFEIT)
Mempunyai
tiga bentuk , concurus diatur dalam titel VI KUHP sebagai berikut :
1. Concursus
idealis (Pasal 62 KUHP)
2. Perbuatan
berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP)
3. Concursus
realis (Pasal 65 s/d 71 KUHP)
Concursus Idealis (pasal 63 KUHP)
Yaitu suatu
perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian
ppidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi , yaitu
hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.
PERBUATAN BERLANJUT (Pasal 64
KUHP)
Terjadi apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) , dan
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut.
Kriteria “
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut “ adalah :
1.
Harus ada satu keputusan kehendak
2.
Masing-masing perbuatan harus sesjenis
3.
Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu
tidak terlalu lama.
CONCURSUS REALIS (Pasal 65-71
KUHP)
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan dan masing-masing perbuatan itu berdiri
sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak
perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan)
Sistem pemberian
pidana bagi concursus realis ada beberapa macam , yaitu :
1.
Kejahatan berupa ancaman dengan pidana pokok
jenis , maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum
pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
2.
Kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang
tidak sejenis , maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan
dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat
ditambah sepertiga.
3.
Concursus realis berupa pelanggaran , maka
menggunakan sistem kumulasi , yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun
jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4.
Concursus realis berupa kejahatan-kejahatan
ringan yaitu pasal 302 ayat (1) ( penganiayaan ringan terhadap hewan) , pasal
352 (penganiayaan ringan ), pasal 379 (penipuan ringan), dan pasal 482
(penadahan ringan) , sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara
8 bulan.
5. Concursus
realis , baik kejahatan maupun pelanggaran , yang diadili pada saat yang
berlainan, berlaku Pasal 71 “ Jika
seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana , maka
pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada
saat yang sama”.
PENGULANGAN ( RESIDIVE)
Alasan hukum
dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukum ini adalah bahwa seseorang yang
telah dijatuhi hukuman dan pengulangan lagi melakukan kejahtaan, membuktikan
bahwa ia telah memiliki tabiat buruk. Jahat karennya dianggap sangat
membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pengulanggan diatur dalam :
1.
Pasal 486
2.
Pasal 487
3.
Pasal 488
pengulangan menurut sifatnya :
1. Residive umum
a.
Seorang telah melakukan kejahatan.
b.
Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman
yang telah dijalani.
c.
Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap
jenis kejahatan.
d.
Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai
dasar pemberatan hukuman.
2. Residive khusus
a.
Seseorang melakukan kejahatan.
b.
Yang telah dijatuhi hukuman.
c.
Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi
melakukan kejahatan.
d.
Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya.
PASAL 486 KUHP
a. Kejahatan-kejahatan
yang tersebut dalam pasal 486 secara terperinci menurut pasal-pasalnya terdiri
atas perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk mencari keuntungan dengan
tipu muslihat.
b. Jangka
waktu 5 tahun belum lampau sejak yang bersalah melakukan salah satu kejahatan
yang tersebut dalam pasal ini.
c. Hukuman
yang telah dijatuhkan telah dijalani seluruhnya sejak hukuman itu dihapuskan,
kejahatan itu hak atas pelaksanaan hukumnya belum kadaluarsa.
d. Hukuman
yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut ditambah sepertiganya.
PASAL 487 DAN PASAL 488 JUGA
MENGATUR MASALAH RESIDIVE
Berdasarkan
penggolongan jenis-jenis kejahtan yang dapat digunakan sebagai dasar residive
sebagai berikut :
a.
Pasal 486 : kejahatan yang dilakukan dengan
perbuatan-perbuatan :
1.
Dengan maksud untuk mencari keuntungan yang
tidak layak.
2.
Yang menggunakan tipu muslihat.
b.
Pasal 478 : kejahatan yang dilakukan dengan
perbuatan –perbuatan :
1.
Terhadap badan atau jiwa seseorang
2.
Kekerasan terhadap seseorang.
c.
Pasal 488 : kejahatan yang dilakukan dengan
perbuatan-perbuatan yang bersifat penghinaan.
Berdasarkan ketiga pasal mentepkan bahwa
residive harus memenuhi syarat :
a.
Kejahatan yang pertama dilakukan harus sudah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
b.
Putusan yang mengandung hukuman tersebut harus
mempunyai kekuatan akhir.
c.
Hukuman tersebut harus sudah dijalankan baik
seluruhnya maupun sebagian , sejak hukuman tersebut dihapuskan.
d.
Jangka waktu antara saat kejahatan yang dilakukan
dan saat hukuman yang dijatuhkan terhadap kejahatan pertama yang telah selesai
dijalni , belum lampau lima tahun.
e.
Jenis hukuman harus merupakan hukuman penjara
menurut ketentuan pasal 486 dan 487 sedangkan pasal 488 tidak menentukan jenis
hukuman tertentu..
Pemidanaan terhadap residive adalah maksimum pidana dengan tambahan 1/3
dari pasal yang bersangkutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas residive diatur dalam KUHP sebagai
dasar pemberstan hukuman. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan
tidak dapat diperlakukan terhadap setiap tindak pidana.
HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN
MELAKSANAKAN PIDANA
Kepastian hukum diperlukan agar suatu persoalan diselesaikan dengan
tuntas hingga tidak terus-menerus tergantung, khususnya mengenai dapat dituntutnya
seseorang karena telah disangka melakukan tindak pidana.
Sebagai contoh , bila seseorang telah melakukan suatu pelanggaran hukum
beberapa tahun yang lalu dan kemudian setelah sekian tahun kejadian itu baru
diketahui , apakah orang orang itu masih dapat dituntut dimuka pengadilan tanpa
batas waktu? Jika demikian halnya , meskipun ada orang yang benar-benar
bersalah melanggar hukum , maka kehidupan masyarakat mungkin tidak ada
ketenangan dan keamanan maupun kepastian.
Hal itu diatur dalam Buku I Bab VIII dari pasal 76 sampai pasal 86.
Sebelum KUPH diunndang-undnag pada tahun 1886 di Nederland dan tahun 1918 di
Indonesia masalah tersebut termasuk di dalam hukum acara pidana..
Terdapat empat alasan tentang
hapusnya hak menuntut, yaitu :
1. Perkaranya
telah diadili dan diputuskan dengan putusan yang menjadi tetap , dan ini
berkaitan dengan yang disebut Nebis In
Idem
2. Meninggalnya terdakwa.
3. Daluwarsa
atau Verjaring.
4. Penyelesaian
diluar pengadilan yang hanya berlaku untuk pelanggaran dan yang telah berada
diluar KUHP , yaitu abolisi dan amnesti.
Untuk hapusnya hak melaksanakan
pidana terdapat dua alasan , yaitu :
1. Meninggalnya
terdakwa (pasal 83).
2. Keedaluwarsa
atau verjaring (pasal 84-85) dan yang berada diluar KUHP , yaitu grasi.
Kewenangan menuntut pidana dapat hapus
dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Tidak
adanya pengaduan pada delik-delik aduan.
Dalam
Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang
waktu pengaduan. Namun , ada pasal=pasal khusus mengenai delik aduan ini, yaitu
pasal 284 (perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istri , dan pasal 332
(melarikan wanita) yang berhak mengadu adalah : (1) jika belum cukup umur oleh
wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu kawin.
(2) jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
2. Nebis
in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya) diatur dalam pasal 76 KUHP
disyaratkan:
a.
Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap.
b.
Orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan
adalah sama.
c.
Perbuatan yang dituntutbadalah sama dengan yang
pernah diputus terdahulu.
3. Maatinya
terdakwa (pasal 77)
4. Kadaluwarsa
Pasal 78 mengatur
tenggang waktu , yaitu :
a.
Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan
sesudah 1 tahun.
b.
Untuk kejahatan yang diancam dengandenda ,
kurungan atau penjara maksimal 3 tahun ,kadaluwarsanya sesudah 6 tahun.
c.
Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara
lebih dari 3 tahun , kadaluwarsanya 12 tahun.
d.
Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau seumur hidup ,kadaluwarsanya sesudah 18 tahun.
Kedawaluwarsa
ini berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan kecuali hal-hal tertentu ,
seperti ditangguhkan karena ada perselisihan dalam hukum perdata.
5. Telah
ada pembayaran denda maksimum , kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (pasal 82).
6. Ada
abolisi atau amnesti.
Dengan pemberian
amnesti , semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana
dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan
terhadap mereka . oleh karena itu , abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya
putusan.
1. ALASAN
HAPUSNYA KEWENANGAN MENJALANKAN PIDANA
Kewenangan menjalankan pidana dapat
hapus karena beberapa hal :
a. Matinya
terdakwa (pasal 83)
b. Kadaluwarsa
(pasal 84-85)
Tenggang waktu kadaluwarsanya
adalah sebagai berikut :
a. Semua
pelanggaran kadaluwarsanya 2 tahun.
b. Kejahatan
percetakan kadaluwarsanya 5 tahun.
c. Kejahatan
lainnya kedaluwarsanya sama dengan kadaluwarsa penuntutan ditambah 1/3
d. Pidana
mati tidak ada kedaluwarsanya.
2.
GRASI
Tidak
menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan , hanya mengahapus atau
mengurangi atau meringankan pidana. Grasi berupa :
a.
Peringanan atau perubahan jenis pidana
b.
Pengurangan jumlah pidana
c.
Pengahapusan pelaksanaan pidana.
Grasi diatur dalam undang-undnag No 5 tahun 2010 tentang grasi. Grasi
tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan , tetapi pelaksanaannya
dihapuskan atau dikurangi. Oleh karena itu grasi berupa ; (a) tidak
mengeksekusi seluruhnya, (b) hanya mengeksekusi sebagaian, (c) mengganti jenis
pidana / komutasi.
PRENYERTAAN (DEELNEMING)
Pada setiap
tindak pidana itu selalu terlihat lebih daripada seorang yang berarti terdapat
orang-orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana diluar diri
sipelaku. Tiap-tiap peserta mengambil atau memberi sumbangannya dalam bentuk
perbuatan kepada peserta lain sehingga tindak pidana tersebut terlaksana.
Dengan demekian
, dapat dikatakan bahwa penyertaan dalam suatu tindak pidana terdapat apabila
dalam suatu pidana atau tindak pidana tersangkut beberapa orang atau lebih dari
seseorang. Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut
dapat bermacam-macam ,yaitu :
1.
Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan.
2.
Seseorang mempunyai kehendak dan merencanakan
sesuatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan
tindak pidana tersebut.
3.
Seseorang saja yang melaksanakan tindak pidana ,
sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Karena hubungan
daripada tiap peserta terhadap tindak pidana tersebut dapat mempunyai berbagai
bentuk , maka ajaran penyertaan ini pokok “Menentukan
pertanggungjawaban daripada peserta terhadap tindak pidana yang telah dilakukan
“.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya .
masalah penyertaan atau deelneming dapat dibagi menurut sifatnya dalam :
1. Bentuk
penyertaan berdiri sendiri
Yang termasuk
jenis ini adalah mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak
pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai
sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan.
2. Bentuk
penyertaan yang tidak berdiri sendiri.
Yang termasuk dalam
jenis ini adalah pembujuk , pebantu dan yang menyuruh untuk melakukan sesuatu
tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada
perbuatan peserta lain.
Didalam
KUHP terdapat dua bentuk penyertaan ,
ialah yang disebut sebagai :
1.
Pembuat atau dader dalam pasal 55 KUHP
2.
Pembantu atau medeplichtigheid diatur dalam
pasal 56 KUHP
Dalam
pasal 55 KUHP menyebutkan empat
golongan yang dapat dipidanakan :
1.
Pelaku atau pleger
2.
Menyuruh melakukan atau doenpleger
3.
Turut serta atau medepleger
4.
Pengajur atau uitlokker.
Pasal 56 KUHP
menyebutkan siapa yang dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan , yaitu ada
dua golongan :
1.
Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahtan dilakukan
2.
Mereka yang memberi kesempatan saran atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
PENYERTAAN
(DEELNEMING / COMPLICITY)
Penyertaan
menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar , yaitu :
1.
Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
a.
Pelaku (pleger)
b.
Yang menyuruhlakukan (doenpleger)
c.
Yang turut serta (medeplger)
d.
Pengajur (uitlokker)
2.
Pembantu/Medeplichtige (pasal 56) yang terdiri
dari :
a.
Pembantu pada saat kejahatan dilakukan.
b.
Pembantu sebelum kejahtan dilakukan.
Pelaku (pleger)
Adalah orang
yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang
paling bertanggungjawab atas kejahatan.
a.
Orang yang bertanggungjawab (Peradilan Indonesia)
b.
Orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk
mengakhiri keadaan yang terlarang . akan tetapi membiarkan keadaan yang
dilarang berlangsung (Peradilan Belanda).
c.
Orang yang berkewajiaban mengakhiri keadaan
terlarang (Pompe) ; pengertian pembuat
menurut pakar :
1)
Tiap orang yang melakukan/menimbulkan akibat
yang memenuhi urusan delik (MvT),pompe,hazewinkel suringa, van hattum ,
mulyono).
2)
Orang ynag melakukan sesuai dengan rumusan delik
(pembuat materiil) mereka yang tersebut dalam pasal 55 KUHP hanya disamakan
saja dengan pembuat (Hr,simons,van hamel,jonkers).
Kedudukan pleger
dalam pasal 55 KUHP : janggal karena pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya
(pelaku tunggal) dapat dipahami :
1.
Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut
sebagai pembuat , jadi pleger masuk didalamnya (Hazewinkel Suringa).
2.
Mereka yang bertanggungjawab adalah yang
berkedudukan sebagai pembuat (pompe).
Orang
yang menyuruhlakukan (Doenpleger)
Doenpleger
adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain , sedang
perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian , ada dua pihak ,
yaitu pembuat langsung (Manus
ministra/auctor physicus) dan pembuat tidak langsung (Manus domina/auctor
intellectualis).
Unsur-unsur pada doenpleger adalah
:
a.
Alat yang dipakai adalah manusia
b.
Alat yang dipakai berbuat
c.
Alat yang dipakai tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedangkan
hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil ) tidak dapat
dipertanggungjawabkan ,adalah :
a.
Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya
(pasal 44)
b.
Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48)
c.
Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang
tidak sah (pasal 51 ayat (2)).
d.
Bila ia sesat / keliru mengenai salah satu unsur
delik.
e.
Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang
disyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Jika seorang
anak kecil yang belum cukup umur , maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal
47 Jo UU NOMOR 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
ORANG YANG TURUT SERTA
(Medepleger)
Medepleger
adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan
terjadinya seuatu. Oleh karena itu , kualitas masing-masing peserta tindak
pidana adalah sama.
Turut
mengerjakan sesuatu yaitu :
a. Mereka
memnuhi semua rumusan delik
b. Salah
satu memenuhi semua rumusan delik
c. Masing-masing
hanya memenuhi sebagian rumusan delik
Syarat
adanya medeplger antara lain :
a. Ada
kerja sama secara sadar , kerjasama dialakukan secara sengaja untuk bekerja
sama dan ditunjukkan kepada hal yang dilarang undang-undang.
b. Ada
pelaksanaan bersama secara fisik , yang menimbulkan selesainya delik yang
bersangkutan.
Kerja
sama secara sadar
a. Adanya
pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan
b. Untuk
bekerja sama
c. Ditunjukkan
kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.
Kerjasama secara fisik : kerja sama yang erat dan langsung atas suatu
perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.
PENGANJURAN (UITLOKKER)
Adalah orang
yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif,
yaitu memeberi atau menjanjikan sesuatu , menyalahkan gunakan kekuasaan atau
martabat , kekerasan,ancaman,atau penyesetan, dengan memeberi kesempatan ,
sarana , atau keterangan (Pasal 55 ayat (1) angkat 2 KUHP).
Penganjuran
(uitloken) mirip denagan menyuruhlakukan (doenplegen) , yaitu melalui perbuatan
orang lain sebagai perantara.
Namun
perbedaannya terletak pada :
a. Pada
penagjuran , menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang
tersebut dalam undang-undang (KUHP) , sedangkan menyuruhlakukan menggerakkannya
denagn saran yang tidak ditentukan
b. Pada
penganjuran , pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan , sedang dalam
menyuruhkan pembuat materil tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pergerakan
menurut doktrin , antara lain :
a. Penggerakan
yang sampai taraf percobaan (uitlokking
bijpoging)
b. Penggerakan
dimana perbuatan pelaku hanya sampai pada taraf percobaan saja.
c.
Penggerakan yang gagal (mislucke uitlokking)
d.
Pelaku tadinya bergerak untuk melakukan
delik , namun kemudian mengurungkan niat tersebut.
e.
Penggerakan tanpa akibat ( zonder gevold gebleiben uitlokking).
f.
Pelaku sama sekali tidak bergerak untuk
melakukan delik.
Syarat
penganjuran yang dapat dipidana , antara lain :
a. Ada
kesengajaan menggerakkan orang lain
b. Menggerakkan
dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP.
c. Putusan
kehendak pembuat materill ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut.
d. Pembuat
materil melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang dianjurkan.
e. Pembuat
materil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap dipidana
berdasarkan pasal 163 KUHP.
PEMBANTUAN (MEDEPLICHTIGE)
Pasal
56 KUHP Pembnatuan ada dua jenis :
a. Pembantuan
pada saat kejahatan dilakukan. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta) , namun
perbedaannya terletak pada :
ü
Pemabantuan perbuatannya hanya bersifat membantu
/menunjang , sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
ü
Pembantuan , pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa dsyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan
sendiri,sedangkan dalam turut serta , orang yang terut serta sengaja melakukan
tindak pidana , dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri;
ü
Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana
(Pasal 60 KUHP) , sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
ü
Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana
yang bersangkutan dikurangi sepertiga , sedangkan turut serta dipidana sama.
b. Pembantuan
sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan ,
sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
PERTANGGUNGJAWABAN PEMBANTU
Yaitu
dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat
(1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup ,
pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian
:
a. Pembantu
dipidana sama berat dengan pembuat , yaitu pada kasus tindak pidana :
1.
Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat
(4)) dengan cara member tempat untuk perampasan kemerdekaan.
2.
Membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat
(pasal 415);
3.
Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
b. Pembantu
dipidana lebih berat daripada pembuat , yaitu tindak pidana :
1.
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim
(Pasal 231 ayat (3));
2.
Dokter yang membantu menggurkan kandungan (pasal
349).
Pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya
(pasal 57 ayat (3)). Dan dipertanggungjawabkan pembantu adalah berdiri
sendiri,tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar